Selasa, 25 Oktober 2016

Makalah Jual Beli Borongan Menurut Islam

MAKALAH FIQH MUAMALAH
JUAL BELI BORONGAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM


DISUSUN OLEH :
Kelompok 8
Gerry Pratama A                   1521030060
Husnul Khatimah          1521030359

IAIN RADEN INTAN LAMPUNG
FAKULTAS SYARI’AH
MUAMALAH
2016



KATA PENGANTAR

               Alhamdulillahirabbil 'Alamin, puji syukur dengan tulus dipersembahkan ke hadirat Allah Swt. Dialah Tuhan yang menurunkan agama melalui wahyu yang disampaikan kepada Rasul pilihan-Nya, yaitu Muhammad Saw. Serta memberikan rahmat serta karunia-Nya, sehingga kita dapat melaksanakan dan menyelesaikan makalah yang diberikan dosen pembimbing Fiqh Muamalah dengan  judul "Jual Beli Borongan dalam Perspektif Hukum Islam”. Penulisan makalah ini disusun oleh penulis berdasarkan ilmu yang didapat dari berbagai sumber.
        Saya berharap agar makalah ini dapat bermanfaat bagi mahasiswa dan orang lain yang membacanya. Penulis juga memohon maaf jika dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan. Kekurangan ini dapat saya jadikan pelajaran, agar kedepan dapat lebih baik lagi.
            Mudah-mudahan makalah ini senantiasa mendapat ridha Allah Swt. Amin Yaa Rabbal Alamin.


         Bandar Lampung, 20 Oktober 2016



                             Kelompok 8


BAB I

PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Melihat perkembangan yang telah muncul dalam kehidupan ekonomi yang ada di dunia pada umumnya dan di Indonesia pada khususnya, Suatu kenyataan yang tak terhindarkan dalam sejarah telah terjadinya perubahan dari kehidupan tradisional ke kehidupan modern, perubahan kehidupan pedesaan yang berbasis ekonomi pertanian kepada kehidupan perekonomian perkotaan yang berbasis ekonomi industri dan perdagangan, perubahan dari pola hubungan paguyuban dan gotong royong kepada pola hubungan individu dan seterusnya. Dalam konteks ini perubahan budaya ini konsep-konsep fiqih (muamalah) tentulah harus sejalan dengan al-Quran dan al-Hadist.

Melihat semakin pesatnya berbagai kemajuan yang telah terjadi dalam kehidupan perekonomian masyarakat saat ini tentunya menuntut kita untuk lebih peka dan lebih hati dalam berbagi sistem yang kadang mengecewakan salah satu pihak, hal ini dapat kita lihat dalam kehidupan sehari-hari yang dapat kita cermati dalam proses jual beli borongan. Untuk itu dalam makalah ini, penulis mencoba untuk mengulas lebih spesifik mengenai akad borongan, bagaimana hukum akad sendiri, dan permasalahan-permasalahan yang kadang timbul dalam akad borongan itu sendiri serta apakah layak menurut sistem perekonomian yang berlandaskan Al-Qur’an dan Hadits?
B.       RUMUSAN MASALAH

1.            Apakah Hakikat Sistem Jual Beli?
2.            Bagaimana Pandangan Islam Terkait Jual Beli Borongan?
3.            Bagaimana Studi Kasus Terkait Jual Beli Borongan?

 



BAB II
PEMBAHASAN
A. Akad Jual Beli
Pengertian Akad
Akad berasal dari (al-‘aqd, jamaknya al-‘uqud) secara bahasa berarti al-rabth’ “ ikatan, mengikat”:
“Al-Rabth, yaitu menghimpun atau mengumpulkan dua ujung tali dan mengikatkan salah satu pada yang lainnya sehingga keduanya bersambung dan menjadi seutas tali.
Sedangkan pengertian lafdiyah ini sebagaimana terdapat pada surat al-Maidah ayat 1 ;
5_1.png
 Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu388. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.

Sedangkan dalam terminologi hukum Islam akad didefinisikan sebagi berikut :
Akad adalah pertalian antara ijab dan Qabul yang dibenarkan oleh Syara’ yang menimbulkan akibat hukum didalamnya”
Yang di maksud ijab dalam definisi akad adalah ungkapan atau pernyataan kehendak melakukan perikatan (akad) oleh suatu pihak, biasanya disebut sebagai pihak pertama. Sedangkan Qabul adalah pernyataan atau ungkapan yang menggambarkan kehendak pihak lain, biasanya dinamakan pihak kedua. Menerima atau menyetujui pernyataan ijab. Maksud trem yang dibenarkan oleh syarat (‘al wajhin masyru’in) adalah bahwasanya setiap berakad tidak boleh bertentangan dengan ketentuan syari’at Islam.
Term ini merupakan batasan normatif yang sangat prinsip dalam fiqih muamalah. Misalnya, mengonsumsi narkoba menurut ajaran agama Islam hukumnya haram, maka segala hal yang terkait dengan produksi dan distribusi Narkoba (termasuk akad-akad yang terkait didalamnya) juga bertentangan dengan ajaran Islam, karna itu hukumnya haram juga.
Akad seperti yang disampaikan dalam definisi diatas merupakan salah satu perbuatan atau tindakan hukum. Maksudnya akad (perkaitan) tersebut menimbulkan perkaitan yang mengikat pihak-pihak terkait langsung mampu tidak langsung dengan akad. Perbuatan atau tindakan hukum atas harta benda dalam fiqih muamalah dinamakan Al-Tasharruf (segala perbuatan yang bersumber dari kehendak seseorang dan syara’ menetapkan atasnya sejumlah akibat hukum).
Tindakan hukum (al-tasharruf) di bedakan menjadi dua. Al-Tasharruf yang berupa perbuatan danAl-Tasharruf perkataan. Tidak semua perkataan manusia bersifat akad. Perkataan akad. Perkataan seseorang tergolong akad apabila dua atau beberapa pihak sepakat untuk saling mengikatkan diri. Kehendak (perbuatan) seseorang untuk melepaskan harta miliknya, seperti wakaf, hibah, dan thalaq sesungguhnya tidak tergolong sebagai akad. Oleh karna itu perbuatan hukum (Al-Tasharruf) lebih luas cakupannya dibandingkan akad.
B. Rukun Akad Jual Beli Dan Syarat-Syaratnya Menurut Para Fuqaha ‘Jumhur
Rukun-rukun Akad menurut Fuqaha jumhur terdiri atas tiga hal yaitu :
1. Al-Aqidain, para pihak yang terlibat langsung dengan akad
2. Mahallul’aqd, yakni obyek akad. Yakni suatu yang hendak diakadkan.
3. Sighat Al-‘Aqd, yakni pernyataan kalimat akad, yang lazimnya dilaksanakan melalui pernyataan ijabdan perataan qabul.
Sedangkan menurut Fuqaha’ Hanafiyah, rukun akad hanya ada satu, yakni Sighat al-‘aqd. Menurut mereka al-aqidain dan mahallul’aqd bukan sebagai rukun akad, melebihkan lebih tepat sebagai syarat akad. Untuk memahami perbedaan-perbedaan ini penulis perlu menyampaikan uraian singkat tentang pengertian rukun dan syarat. Rukun menurut pengertian istilah fuqaha dan ahli ushul adalah:
Suatu yang menjadi tegaknya dan adanya sesuatu sedangkan ia bersifat interen dari suatu yang ditegakan”
Berdasarkan pengertian di atas maka rukun akad adalah kesepakatan dua kehendak, yakni ijabdan kabul . seorang pelaku dapat dipandang sebagai rukun dari perbuatannya karena pelaku bukan merupakan bagian internal dari perbuatannya. Sebagai mana yang berlaku pada ibadah salat, dimana orang yang melakukan shalat tidak dapat dipandang sebagai rukun shalat.
Adapun syarat-syarat umum untuk terjadinya akad, syarat yang diperlukan bagi akad : akad terdiri dari Aqidain (dua orang aqidain), mahallul akad ( tempat akad), maudlu’ul aqd masing-masing dari pembentukan akad ini, mempunyai syarat yang di tentukan syara yang wajib disempurnakan, supaya akad itu menjadi sempurna.
Dan disini perlu penulis tegaskan bahwasanya akad tidak sah jika tidak ada sighat, yakni suatu perkataan (lafadz) yang diucapkan oleh kedua belah pihak yang melakukan akad. Yang berlandaskan dengan firman Allah dalam surat Q.S An-Anisa’: 29 :
4_29.png
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kami memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah Maha Penyayang (Q.S An-Nisa’ :29)”
Dengan demikian segala ketentuan-ketentuan apa syarat dapat disimpulkan bahwa akad jual beli itu dapat dilakukakan dengan segala pernyataan yang dapat dipahamkan yang melakukan akad, baik dalam perkataan, perbuatan, maupun bentuk tulisan bagi orang yang sedang berjauhan :
Adapun syarat-syarat verbal akad jual beli antara lain :
Ahliyatul ‘Aqidaini (kedua belah pihak cakap berbuat)
Qabiliyatul mahallil aqdi li hukmihi (yang dijadikan obyek akad, dapat menerima hukumnya)
Al wilyatus syar’I fi maudlu’il ‘aqdi (akad itu diizinkan oleh syara’, dilakukan oleh orang yang mempunyai hak melakukannya dan melaksanakannya, walaupun dia bukan si aqid itu sendiri)
Alla yakunal aqdu au maudlu’uhu mammu’an binasashshin syariiyin (janganlah akad itu akad yang dilarang)
Kaunul aqdi mufidan (akad itu memberi faedah)
Baqaul ijabi shalihan ila mauqu’in qablu (ijab itu berjalan terus, tidak dicabut, sebelum terjadi Qabul)
Ottihadu majlisil aqdi (bersatunya najlisa)
Karenanya, ijab menjadi batal apabila sampai kepada berpisah seorang dengan yang lain, dan belum ada Qabul. Syarat yang ketujuh ini disyaratkan oleh madzhab-madzhab asy syafi’y, tidak terdapat dalam madzhab yang lain.
C. Jual Beli Borongan
Definisi jual beli itu sendiri adalah secara terminologi adalah menukar harta dengan harta atau penukaran mutlak. Secara terminologi adalah transaksi penukaran selain dengan fasilitas atau kenikmatan. Dan yang dimaksud jual beli borongan adalah jual beli barang yang bisa di takar, ditimbang atau dihitung secara borongan tanpa ditimbang, di takar, atau dihitung lagi.
Dalam syariat Islam jual beli adalah pertukaran harta tertentu dengan harta lain berdasarkan keridhaan antara keduanya, jual beli itu di syariatkan berdasarkan konsensus kaum muslim karena kehidupan manusia tidak bisa tegak tanpa jual beli.
Allah berfirman dalam Al-Al-Qur’an surat ala-Baqarah: 275
الرِّبَا وَحَرَّمَ  الْبَيْعَ اللَّهُ وَأَحَلَّ
“Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba”
Perdagangan adalah perdagangan dengan tujuan mencari keuntungan. Penjualan adalah transaksi paling kuat dalam dunia perniagaan bahkan sebagai aktifitas terpenting dalam aktifitas usaha. Kalau asal jual beli adalah disyaratkan, sesungguhnya diantara bentuk jual beli ada juga yang diharamkan dan ada juga yang dipersilahkan oleh hukum. Oleh sebab itu, menjadi suatu kewajiban bagi seorang usahawan muslim untuk mengenal hal-hal yang menentukan sahnya jual beli tersebut dan mengenal mana yang halal dan mana yang haram di kegiatan itu.
Sebenarnya masalah jual beli itu sendiri itu mubah kecuali ada dalil yang mengharamkannya. Dalam hal ini jual beli dapat diklasifikasikan ke dalam banyak macam, melalui sudut pandang yang berbeda-beda dilihat dari jenis barang yang dijadikan perjanjian jual beli terbagi tiga macam; jual beli bebas, money changer dan barter. Kalau dilihat dari sisi penempatan harta jual beli dibagi juga menjadi tiga; jual beli tawar menawar, jual beli amanah, dan jual beli lelang , dan yang terakhir dilihat dari segi cara pembayaran dibagi menjadi tiga macam pula diantaranya adalah jual beli dengan pembayaran tertunda, jual beli dengan penyerahan yang tertunda dan jual beli penyerahan barang dan pembayarannya sama-sama tertunda.
Jual beli memiliki beberapa persyaratan yang harus sepenuhnya dipenuhi agar akad jual beli menjadi sah. Diantara syarat-syarat tersebut ada yang berkaitan dengan pihak-pihak yang terlibat ada yang berkaitan dengan barang yang dijual belikan serta keberadaan barang tersebut harus suci, bermanfaat, dan bisa diserahterimakan serta merupakan milik penjual. Ketika terjadi akad, kemudian tidak ada pembatasan waktu. Dari berbagi penjelasan diatas mengenai akad jual beli, baik rukun akad, syarat akad, klasifikasi akad dan sebagainya. dapat jadikan pengantar untuk lebih jelas membahas mengenai akad borongan.
Akad borongan menurut Mali-kiyah diperbolehkan jika barang tersebut bisa ditakar, ditimbang atau secara borongan tanpa ditimbang, ditakar atau dihitung lagi, namun dengan beberapa syarat yang dijelaskan secara rinci oleh kalangan Mali-kiyah. Al Qur’an menganggap penting persoalan ini sebagai salah satu bagian dari muamalah, seperti firman Allah dalam suratn al An ‘am :152
ۖ بِالْقِسْطِ وَالْمِيزَانَ الْكَيْلَ وَأَوْفُوا
Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil.
Dijelaskan juga dalam suratal Isra’: 35
17_35.png
 “Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang paling utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”
Disamping itu Allah juga melarang mempermainkan dan melakukan kecurangan dalam takaran dan timbangan, Allah telah berfirman dalam surat al Muthofifin: 1-6 yang artinya:
وَيْلٌ لِلْمُطَفِّفِينَ ﴿١﴾ الَّذِينَ إِذَا اكْتَالُوا عَلَى النَّاسِ يَسْتَوْفُونَ ﴿٢﴾ وَإِذَا كَالُوهُمْ أَوْ وَزَنُوهُمْ يُخْسِرُونَ ﴿٣﴾ أَلَا يَظُنُّ أُولَٰئِكَ أَنَّهُمْ مَبْعُوثُونَ ﴿٤﴾لِيَوْمٍ عَظِيمٍ ﴿٥﴾ يَوْمَ يَقُومُ النَّاسُ لِرَبِّ الْعَالَمِينَ ﴿٦﴾
 “Celaka benar, bagi orang-orang yang curang (yaitu) orang-orang yang menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain mereka mengurangi. Tidakkah orang-orang itu menyangka bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan pada suatu hari yang besar (yaitu) hari ketika manusia berdiri menghadap tuhan semesta alam”
Muamalah seperti itu suatu contoh yang harus dilaksanakan oleh setiap muslim dalam kehidupannya, pergaulannya, muamalahnya. Mereka tidak diperkenankan dengan dua takaran atau menimbang dengan dua timbangan pribadi atau timbangan umum. Oleh karena itu setiap muslim harus berusaha sekuat tenaga untuk berlaku adil (jujur) sebab keadilan yang sebenarnya jarang diwujudkan.



D.    Hukum jual-beli secara borongan.
Para ulama sepakat atas bolehnya jual-beli secara borongan atau taksiran. Berdasarkan hadits,
عَنِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: كُنَّا نَشْتَرِي الطَّعَامَ مِنَ الرُّكْبَانِ جِزَافًا فَنَهَانَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ أَنْ نَبِيْعَهُ حَتَّى نَنْقُلَهُ مِنْ مَكَانِهِ
Dari Abdullah bin Umar, dia berkata, “Dahulu kami (para sahabat) membeli makanan secara taksiran, maka Rasulullah melarang kami menjual lagi sampai kami memindahkannya dari tempat belinya.” (HR. Muslim: 1526)
Makna dari جِزَافًا adalah jual-beli makanan tanpa ditakar, ditimbang, dan tanpa ukuran tertentu. Akan tetapi menggunakan sistem taksiran, dan inilah makna jual-beli borongan.
Sisi pengambilan hukum dari hadits ini, adalah bahwa jual beli sistem borongan itu merupakan salah satu sistem jual-beli yang dilakukan oleh para sahabat pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau tidak melarangnya. Hanya saja, beliau melarang untuk menjualnya kembali sampai memindahkannya dari tempat semula. Ini merupakan taqriri (persetujuan) beliau atas bolehnya jual-beli sistem tersebut. Seandainya terlarang, pasti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan melarangnya dan tidak hanya menyatakan hal di atas.
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Hadits ini menunjukkan bahwa jual-beli makanan dengan sistem taksiran, hukumnya boleh.” (Fathul Bari: 4351)
Imam Ibnu Qudamah berkata, ”Kami tidak mengetahui adanya perselisihan dalam masalah ini.” (Lihat pula Mausu’ah al-Manahi Syar’iyyah oleh Syekh Salim al-Hilali 2/233)









BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Jual beli adalah hal yang dibolehkan oleh Allah, karena itu adalah jalan usaha yang halal. Akan tetapi jual beli juga memiliki unsur-unsur dan syarat-syarat yang menjadi sah nya jual beli tersebut. Tanpa adanya dua hal tersebut maka jual beli itu tidak benar atau tidak sah. Sama halnya dengan jual beli borongan, yaitu jual beli barang yang bisa di takar, ditimbang atau dihitung secara borongan tanpa ditimbang, ditakar, atau dihitung lagi. Pada prinsipnya jual beli itu akan sah apabila dua belah pihak, penjual dan pembeli sama-sama tidak merasa rugi atau tidak ada salah satu yang dirugikan. System borongan semacam ini lumrah dalam hal ekonomi muamalah.
Dari penjabaran diatas bahwasanya dalam masalah jual beli borongan ini diperbolehkan dengan syarat-syarat yang telah disebutkan. Dan hemat penulis jual beli semacam itu diperbolehkan asalkan jelas unsur-unsurnya, serta ada ijab qabul antara penjual dan pembeli dan tidak ada salah satu pihak yang dirugikan. Ini juga berdasarkan pendapat dari kalangan Malikiyah yang membolehkan jual beli borongan dengan cara menakar/menimbang, dihitung secara borongan tanpa ditimbang, ditakar dan dihitung lagi.
Dalam pelaksanaan akad jual beli kadang ada hal yang membawa pertengkaran, apabila bila barang itu tidak diketahui atau karena ada unsur penipuan yang dapat menimbulkan pertengkaran antara si penjual dan si pembeli, dari kecurangan itu Rasulullah s.a.w melarang jual beli borongan yang tidak di ketahui secara pasti benda yang akan dijual itu.
dari kejadian diatas dapat kita jadikan acuan bahwasanya akad borongan dapat dilaksanakan ketika telah diketahui secara pasti benda yang akan dijual dan barang tersebut tidak samar keberadaannya.
Dari sini telah jelas bahwasanya akad borongan menurut penulis dan berdasarkan dalil yang telahAda boleh hukumnya. Akan tetapi harus sesuai dengan apa yang telah ditentukan dalam Al-Qur’an dan hadits.



DAFTAR PUSTAKA

Ghufron A. Mas’adi, M.Ag., Fiqih Muamalah Kontekstual, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002
Hamzah Ya’kub, Kode Etik Dagang Menurut Islam, Bandung : CV Diponegoro, 1984
Musthafa al-Zarqa’, al-Madhkhal al-fiqh al-‘amm, Darul Fiqri, Bairut 1967-1968, jilid I
T.M. Hasbiy as-Shiddieqy. “ Pengantar Fiqih Muamalah”, Bulan Bintang, Jakarta.
Syafei, Rachmat. Fiqh Muamalah. 2001. Bandung: CV. Pustaka Setia
http://Borongan/akad-jual-beli-borongan-dalam-islam.html