MAKALAH FIQH MUAMALAH
JUAL BELI BORONGAN DALAM PERSPEKTIF
HUKUM ISLAM
DISUSUN
OLEH :
Kelompok
8
Gerry Pratama A 1521030060
Husnul Khatimah 1521030359
IAIN
RADEN INTAN LAMPUNG
FAKULTAS
SYARI’AH
MUAMALAH
2016
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil
'Alamin, puji syukur dengan tulus dipersembahkan ke hadirat Allah Swt. Dialah
Tuhan yang menurunkan agama melalui wahyu yang disampaikan kepada Rasul
pilihan-Nya, yaitu Muhammad Saw. Serta memberikan rahmat serta karunia-Nya,
sehingga kita dapat melaksanakan dan menyelesaikan makalah yang diberikan dosen
pembimbing Fiqh Muamalah dengan judul "Jual Beli Borongan dalam
Perspektif Hukum Islam”. Penulisan makalah ini disusun oleh penulis berdasarkan
ilmu yang didapat dari berbagai sumber.
Saya
berharap agar makalah ini dapat bermanfaat bagi mahasiswa dan orang lain yang
membacanya. Penulis juga memohon maaf jika dalam penulisan makalah ini masih
banyak kekurangan. Kekurangan ini dapat saya jadikan pelajaran, agar kedepan
dapat lebih baik lagi.
Mudah-mudahan
makalah ini senantiasa mendapat ridha Allah Swt. Amin Yaa Rabbal Alamin.
Bandar Lampung, 20 Oktober 2016
Kelompok 8
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Melihat perkembangan yang telah muncul dalam
kehidupan ekonomi yang ada di dunia pada umumnya dan di Indonesia pada
khususnya, Suatu kenyataan yang tak terhindarkan dalam sejarah telah terjadinya
perubahan dari kehidupan tradisional ke kehidupan modern, perubahan kehidupan
pedesaan yang berbasis ekonomi pertanian kepada kehidupan perekonomian
perkotaan yang berbasis ekonomi industri dan perdagangan, perubahan dari pola
hubungan paguyuban dan gotong royong kepada pola hubungan individu dan
seterusnya. Dalam konteks ini perubahan budaya ini konsep-konsep fiqih
(muamalah) tentulah harus sejalan dengan al-Quran dan al-Hadist.
Melihat semakin pesatnya berbagai kemajuan
yang telah terjadi dalam kehidupan perekonomian masyarakat saat ini tentunya
menuntut kita untuk lebih peka dan lebih hati dalam berbagi sistem yang kadang
mengecewakan salah satu pihak, hal ini dapat kita lihat dalam kehidupan
sehari-hari yang dapat kita cermati dalam proses jual beli borongan. Untuk itu
dalam makalah ini, penulis mencoba untuk mengulas lebih spesifik mengenai akad
borongan, bagaimana hukum akad sendiri, dan permasalahan-permasalahan yang
kadang timbul dalam akad borongan itu sendiri serta apakah layak menurut sistem
perekonomian yang berlandaskan Al-Qur’an dan Hadits?
B.
RUMUSAN
MASALAH
1.
Apakah Hakikat Sistem
Jual Beli?
2.
Bagaimana Pandangan
Islam Terkait Jual Beli Borongan?
3.
Bagaimana Studi Kasus
Terkait Jual Beli Borongan?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Akad Jual Beli
Pengertian Akad
Akad berasal dari (al-‘aqd, jamaknya al-‘uqud)
secara bahasa berarti al-rabth’ “ ikatan, mengikat”:
“Al-Rabth, yaitu menghimpun atau
mengumpulkan dua ujung tali dan mengikatkan salah satu pada yang lainnya
sehingga keduanya bersambung dan menjadi seutas tali.
Sedangkan pengertian lafdiyah ini
sebagaimana terdapat pada surat al-Maidah ayat 1 ;

Hai
orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu388.
Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu.
(Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang
mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.
|
Sedangkan dalam terminologi hukum Islam akad
didefinisikan sebagi berikut :
“Akad adalah pertalian antara ijab dan
Qabul yang dibenarkan oleh Syara’ yang menimbulkan akibat hukum didalamnya”
Yang di maksud ijab dalam
definisi akad adalah ungkapan atau pernyataan kehendak melakukan perikatan
(akad) oleh suatu pihak, biasanya disebut sebagai pihak pertama. Sedangkan
Qabul adalah pernyataan atau ungkapan yang menggambarkan kehendak pihak lain,
biasanya dinamakan pihak kedua. Menerima atau menyetujui pernyataan ijab. Maksud
trem yang dibenarkan oleh syarat (‘al wajhin masyru’in) adalah bahwasanya
setiap berakad tidak boleh bertentangan dengan ketentuan syari’at Islam.
Term ini merupakan batasan normatif yang
sangat prinsip dalam fiqih muamalah. Misalnya, mengonsumsi narkoba menurut
ajaran agama Islam hukumnya haram, maka segala hal yang terkait dengan produksi
dan distribusi Narkoba (termasuk akad-akad yang terkait didalamnya) juga
bertentangan dengan ajaran Islam, karna itu hukumnya haram juga.
Akad seperti yang disampaikan dalam definisi
diatas merupakan salah satu perbuatan atau tindakan hukum. Maksudnya akad
(perkaitan) tersebut menimbulkan perkaitan yang mengikat pihak-pihak terkait
langsung mampu tidak langsung dengan akad. Perbuatan atau tindakan hukum atas
harta benda dalam fiqih muamalah dinamakan Al-Tasharruf (segala
perbuatan yang bersumber dari kehendak seseorang dan syara’ menetapkan atasnya
sejumlah akibat hukum).
Tindakan hukum (al-tasharruf) di
bedakan menjadi dua. Al-Tasharruf yang berupa perbuatan danAl-Tasharruf perkataan.
Tidak semua perkataan manusia bersifat akad. Perkataan akad. Perkataan
seseorang tergolong akad apabila dua atau beberapa pihak sepakat untuk saling
mengikatkan diri. Kehendak (perbuatan) seseorang untuk melepaskan harta
miliknya, seperti wakaf, hibah, dan thalaq sesungguhnya tidak tergolong sebagai
akad. Oleh karna itu perbuatan hukum (Al-Tasharruf) lebih luas
cakupannya dibandingkan akad.
B. Rukun Akad Jual
Beli Dan Syarat-Syaratnya Menurut Para Fuqaha ‘Jumhur
Rukun-rukun Akad menurut Fuqaha jumhur
terdiri atas tiga hal yaitu :
1. Al-Aqidain, para pihak yang
terlibat langsung dengan akad
2. Mahallul’aqd, yakni
obyek akad. Yakni suatu yang hendak diakadkan.
3. Sighat Al-‘Aqd, yakni
pernyataan kalimat akad, yang lazimnya dilaksanakan melalui pernyataan ijabdan
perataan qabul.
Sedangkan menurut Fuqaha’ Hanafiyah, rukun
akad hanya ada satu, yakni Sighat al-‘aqd. Menurut mereka al-aqidain dan mahallul’aqd bukan
sebagai rukun akad, melebihkan lebih tepat sebagai syarat akad. Untuk memahami
perbedaan-perbedaan ini penulis perlu menyampaikan uraian singkat tentang
pengertian rukun dan syarat. Rukun menurut pengertian istilah fuqaha dan ahli
ushul adalah:
“Suatu yang menjadi tegaknya dan adanya
sesuatu sedangkan ia bersifat interen dari suatu yang ditegakan”
Berdasarkan pengertian di atas
maka rukun akad adalah kesepakatan dua kehendak, yakni ijabdan kabul .
seorang pelaku dapat dipandang sebagai rukun dari perbuatannya karena pelaku
bukan merupakan bagian internal dari perbuatannya. Sebagai mana yang berlaku
pada ibadah salat, dimana orang yang melakukan shalat tidak dapat dipandang
sebagai rukun shalat.
Adapun syarat-syarat umum untuk terjadinya
akad, syarat yang diperlukan bagi akad : akad terdiri dari Aqidain (dua
orang aqidain), mahallul akad ( tempat akad), maudlu’ul
aqd masing-masing dari pembentukan akad ini, mempunyai syarat yang di
tentukan syara yang wajib disempurnakan, supaya akad itu menjadi sempurna.
Dan disini perlu penulis tegaskan bahwasanya
akad tidak sah jika tidak ada sighat, yakni suatu perkataan (lafadz) yang
diucapkan oleh kedua belah pihak yang melakukan akad. Yang berlandaskan dengan
firman Allah dalam surat Q.S An-Anisa’: 29 :

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kami
memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan
yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh
dirimu; Sesungguhnya Allah Maha Penyayang (Q.S An-Nisa’ :29)”
Dengan demikian segala ketentuan-ketentuan
apa syarat dapat disimpulkan bahwa akad jual beli itu dapat dilakukakan dengan
segala pernyataan yang dapat dipahamkan yang melakukan akad, baik dalam
perkataan, perbuatan, maupun bentuk tulisan bagi orang yang sedang berjauhan :
Adapun syarat-syarat verbal akad jual beli
antara lain :
- Ahliyatul ‘Aqidaini (kedua
belah pihak cakap berbuat)
- Qabiliyatul mahallil aqdi li
hukmihi (yang dijadikan obyek akad, dapat menerima hukumnya)
- Al wilyatus syar’I fi maudlu’il
‘aqdi (akad itu diizinkan oleh syara’, dilakukan oleh orang yang
mempunyai hak melakukannya dan melaksanakannya, walaupun dia bukan si aqid itu
sendiri)
- Alla yakunal aqdu au maudlu’uhu
mammu’an binasashshin syariiyin (janganlah akad itu akad yang
dilarang)
- Kaunul aqdi mufidan (akad
itu memberi faedah)
- Baqaul ijabi shalihan ila mauqu’in
qablu (ijab itu berjalan terus, tidak dicabut, sebelum terjadi Qabul)
- Ottihadu majlisil aqdi (bersatunya
najlisa)
Karenanya, ijab menjadi batal apabila sampai
kepada berpisah seorang dengan yang lain, dan belum ada Qabul. Syarat yang
ketujuh ini disyaratkan oleh madzhab-madzhab asy syafi’y, tidak terdapat dalam
madzhab yang lain.
C. Jual Beli Borongan
Definisi jual beli itu sendiri adalah secara
terminologi adalah menukar harta dengan harta atau penukaran mutlak. Secara
terminologi adalah transaksi penukaran selain dengan fasilitas atau kenikmatan.
Dan yang dimaksud jual beli borongan adalah jual beli barang yang bisa di
takar, ditimbang atau dihitung secara borongan tanpa ditimbang, di takar, atau
dihitung lagi.
Dalam syariat Islam jual beli adalah
pertukaran harta tertentu dengan harta lain berdasarkan keridhaan antara
keduanya, jual beli itu di syariatkan berdasarkan konsensus kaum muslim karena
kehidupan manusia tidak bisa tegak tanpa jual beli.
Allah berfirman dalam Al-Al-Qur’an surat ala-Baqarah:
275
الرِّبَا وَحَرَّمَ الْبَيْعَ اللَّهُ وَأَحَلَّ
“Allah menghalalkan
jual-beli dan mengharamkan riba”
Perdagangan adalah perdagangan dengan tujuan
mencari keuntungan. Penjualan adalah transaksi paling kuat dalam dunia
perniagaan bahkan sebagai aktifitas terpenting dalam aktifitas usaha. Kalau
asal jual beli adalah disyaratkan, sesungguhnya diantara bentuk jual beli ada
juga yang diharamkan dan ada juga yang dipersilahkan oleh hukum. Oleh sebab
itu, menjadi suatu kewajiban bagi seorang usahawan muslim untuk mengenal
hal-hal yang menentukan sahnya jual beli tersebut dan mengenal mana yang halal
dan mana yang haram di kegiatan itu.
Sebenarnya masalah jual beli itu sendiri itu
mubah kecuali ada dalil yang mengharamkannya. Dalam hal ini jual beli dapat
diklasifikasikan ke dalam banyak macam, melalui sudut pandang yang berbeda-beda
dilihat dari jenis barang yang dijadikan perjanjian jual beli terbagi tiga
macam; jual beli bebas, money changer dan barter. Kalau dilihat dari sisi
penempatan harta jual beli dibagi juga menjadi tiga; jual beli tawar menawar,
jual beli amanah, dan jual beli lelang , dan yang terakhir dilihat dari segi
cara pembayaran dibagi menjadi tiga macam pula diantaranya adalah jual beli
dengan pembayaran tertunda, jual beli dengan penyerahan yang tertunda dan jual
beli penyerahan barang dan pembayarannya sama-sama tertunda.
Jual beli memiliki beberapa persyaratan yang
harus sepenuhnya dipenuhi agar akad jual beli menjadi sah. Diantara
syarat-syarat tersebut ada yang berkaitan dengan pihak-pihak yang terlibat ada
yang berkaitan dengan barang yang dijual belikan serta keberadaan barang
tersebut harus suci, bermanfaat, dan bisa diserahterimakan serta merupakan
milik penjual. Ketika terjadi akad, kemudian tidak ada pembatasan waktu. Dari
berbagi penjelasan diatas mengenai akad jual beli, baik rukun akad, syarat
akad, klasifikasi akad dan sebagainya. dapat jadikan pengantar untuk lebih
jelas membahas mengenai akad borongan.
Akad borongan menurut Mali-kiyah diperbolehkan
jika barang tersebut bisa ditakar, ditimbang atau secara borongan tanpa
ditimbang, ditakar atau dihitung lagi, namun dengan beberapa syarat yang
dijelaskan secara rinci oleh kalangan Mali-kiyah. Al Qur’an
menganggap penting persoalan ini sebagai salah satu bagian dari muamalah,
seperti firman Allah dalam suratn al An ‘am :152
ۖ بِالْقِسْطِ وَالْمِيزَانَ الْكَيْلَ وَأَوْفُوا
“Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan
dengan adil.”
Dijelaskan juga dalam suratal Isra’: 35

“Dan
sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang
benar. Itulah yang paling utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”
Disamping itu Allah juga
melarang mempermainkan dan melakukan kecurangan dalam takaran dan timbangan,
Allah telah berfirman dalam surat al Muthofifin: 1-6 yang artinya:
وَيْلٌ
لِلْمُطَفِّفِينَ ﴿١﴾ الَّذِينَ إِذَا
اكْتَالُوا عَلَى النَّاسِ يَسْتَوْفُونَ ﴿٢﴾ وَإِذَا كَالُوهُمْ
أَوْ وَزَنُوهُمْ يُخْسِرُونَ ﴿٣﴾ أَلَا يَظُنُّ
أُولَٰئِكَ أَنَّهُمْ مَبْعُوثُونَ ﴿٤﴾لِيَوْمٍ عَظِيمٍ ﴿٥﴾ يَوْمَ يَقُومُ
النَّاسُ لِرَبِّ الْعَالَمِينَ ﴿٦﴾
“Celaka
benar, bagi orang-orang yang curang (yaitu) orang-orang yang menerima takaran
dari orang lain mereka minta dipenuhi dan apabila mereka menakar atau menimbang
untuk orang lain mereka mengurangi. Tidakkah orang-orang itu menyangka bahwa
sesungguhnya mereka akan dibangkitkan pada suatu hari yang besar (yaitu) hari
ketika manusia berdiri menghadap tuhan semesta alam”
Muamalah
seperti itu suatu contoh yang harus dilaksanakan oleh setiap muslim dalam
kehidupannya, pergaulannya, muamalahnya. Mereka tidak diperkenankan dengan dua
takaran atau menimbang dengan dua timbangan pribadi atau timbangan umum. Oleh
karena itu setiap muslim harus berusaha sekuat tenaga untuk berlaku adil
(jujur) sebab keadilan yang sebenarnya jarang diwujudkan.
D.
Hukum jual-beli secara
borongan.
Para ulama sepakat atas
bolehnya jual-beli secara borongan atau taksiran. Berdasarkan hadits,
عَنِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ:
كُنَّا نَشْتَرِي الطَّعَامَ مِنَ الرُّكْبَانِ جِزَافًا فَنَهَانَا رَسُوْلُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ أَنْ نَبِيْعَهُ حَتَّى نَنْقُلَهُ مِنْ
مَكَانِهِ
Dari Abdullah bin Umar,
dia berkata, “Dahulu kami (para sahabat) membeli makanan secara taksiran, maka
Rasulullah melarang kami menjual lagi sampai kami memindahkannya dari tempat
belinya.” (HR. Muslim: 1526)
Makna dari جِزَافًا
adalah jual-beli makanan tanpa ditakar, ditimbang, dan tanpa ukuran tertentu.
Akan tetapi menggunakan sistem taksiran, dan inilah makna jual-beli borongan.
Sisi pengambilan hukum
dari hadits ini, adalah bahwa jual beli sistem borongan itu merupakan salah
satu sistem jual-beli yang dilakukan oleh para sahabat pada zaman Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dan beliau tidak melarangnya. Hanya saja, beliau melarang
untuk menjualnya kembali sampai memindahkannya dari tempat semula. Ini
merupakan taqriri (persetujuan) beliau atas bolehnya jual-beli sistem tersebut.
Seandainya terlarang, pasti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan
melarangnya dan tidak hanya menyatakan hal di atas.
Al-Hafizh Ibnu Hajar
berkata, “Hadits ini menunjukkan bahwa jual-beli makanan dengan sistem
taksiran, hukumnya boleh.” (Fathul Bari: 4351)
Imam Ibnu Qudamah
berkata, ”Kami tidak mengetahui adanya perselisihan dalam masalah ini.” (Lihat
pula Mausu’ah al-Manahi Syar’iyyah oleh Syekh Salim al-Hilali
2/233)
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Jual
beli adalah hal yang dibolehkan oleh Allah, karena itu adalah jalan usaha yang
halal. Akan tetapi jual beli juga memiliki unsur-unsur dan syarat-syarat yang
menjadi sah nya jual beli tersebut. Tanpa adanya dua hal tersebut maka jual
beli itu tidak benar atau tidak sah. Sama halnya dengan jual beli borongan,
yaitu jual beli barang yang bisa di takar, ditimbang atau dihitung secara
borongan tanpa ditimbang, ditakar, atau dihitung lagi. Pada prinsipnya jual
beli itu akan sah apabila dua belah pihak, penjual dan pembeli sama-sama tidak
merasa rugi atau tidak ada salah satu yang dirugikan. System borongan semacam ini
lumrah dalam hal ekonomi muamalah.
Dari
penjabaran diatas bahwasanya dalam masalah jual beli borongan ini diperbolehkan
dengan syarat-syarat yang telah disebutkan. Dan hemat penulis jual beli semacam
itu diperbolehkan asalkan jelas unsur-unsurnya, serta ada ijab qabul antara
penjual dan pembeli dan tidak ada salah satu pihak yang dirugikan. Ini juga
berdasarkan pendapat dari kalangan Malikiyah yang membolehkan jual beli
borongan dengan cara menakar/menimbang, dihitung secara borongan tanpa
ditimbang, ditakar dan dihitung lagi.
Dalam
pelaksanaan akad jual beli kadang ada hal yang membawa pertengkaran, apabila
bila barang itu tidak diketahui atau karena ada unsur penipuan yang dapat
menimbulkan pertengkaran antara si penjual dan si pembeli, dari kecurangan itu
Rasulullah s.a.w melarang jual beli borongan yang tidak di ketahui secara pasti
benda yang akan dijual itu.
dari
kejadian diatas dapat kita jadikan acuan bahwasanya akad borongan dapat
dilaksanakan ketika telah diketahui secara pasti benda yang akan dijual dan
barang tersebut tidak samar keberadaannya.
Dari
sini telah jelas bahwasanya akad borongan menurut penulis dan berdasarkan dalil
yang telahAda boleh hukumnya. Akan tetapi harus sesuai dengan apa yang
telah ditentukan dalam Al-Qur’an dan hadits.
DAFTAR
PUSTAKA
Ghufron
A. Mas’adi, M.Ag., Fiqih Muamalah Kontekstual, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2002
Hamzah
Ya’kub, Kode Etik Dagang Menurut Islam, Bandung : CV
Diponegoro, 1984
Musthafa
al-Zarqa’, al-Madhkhal al-fiqh al-‘amm, Darul Fiqri, Bairut
1967-1968, jilid I
T.M.
Hasbiy as-Shiddieqy. “
Pengantar Fiqih Muamalah”,
Bulan Bintang, Jakarta.
Syafei, Rachmat. Fiqh Muamalah. 2001. Bandung: CV. Pustaka Setia
http://Borongan/akad-jual-beli-borongan-dalam-islam.html
1 komentar:
Nonton Bokep Download Bokep
Hanya di SIKONTIL.BEST
FORUM TANTE GIRANG
DOWNLOAD VIDEO BOKEP TERBARU
SKANDAL ARTIS INDONESIA
NONTON FILM BOKEP INDO
NONTON FILM BOKEP BARAT
NONTON FILM BOKEP JEPANG
NONTON FILM BOKEP KOREA
NONTON FILM SEMI TERBARU
Posting Komentar